Rabu, 05 Desember 2007

proposal penelitian

PROPOSAL PENELITIAN

STUDI PENGOLAHAN AYAM BROILER ASAP
DENGAN BAHAN BAKAR YANG BERBEDA




JOKO SUSILO















FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2006PROPOSAL PENELITIAN

STUDI PENGOLAHAN AYAM BROILER ASAP
DENGAN BAHAN BAKAR YANG BERBEDA









JOKO SUSILO



Proposal Penelitian
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Program studi Ilmu Ternak





FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2006
Judul Penelitian : Studi Pengolahan Ayam Broiler Asap dengan Bahan Bakar yang Berbeda

Nama mahasiswa : Joko Susilo
Nim : 10282021082
Jurusan : Ilmu Ternak







Menyetujui









Irdha Mirdhayati, S.Pi, M.Si Ir. Elfawati, M.Si
Pembimbing Utama Pembimbing Kedua







Mengetahui







DR. Ir. Feradis, M.P
Pembantu Dekan Bidang Akademik

DAFTAR ISI


DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan dan Manfaat
Hipotesis

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Ayam Broiler
Komposisi Kimia Daging Ayam Broiler
Sejarah dan Perkembangan Pengasapan
Komposisi Kimia Asap
Persiapan Pengasapan
Pengasapan
Pengemasan

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Rancangan Penelitian
Asumsi
Prosedur Penelitian
Pengolahan Karkas Ayam
Tahapan Pelaksanaan Penggorengan
Prosedur Penilaian Mutu
Kadar Lemak
Kadar Protein
Kadar Air
Penghitungan Total Mikroba
Penilaian Organoleptik
Analisis Data

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Statistik Produksi Unggas
Tabel 2. Komposisi Daging Ayam
Tabel 3. Komposisi Daging Ayam per 100 g Daging Ayam
Tabel 4. Komposisi kimia Asap pada Pengasapan Komersil
Tabel 5. Formulasi bahan dan bumbu Daging Ayam Broiler Asap

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Berdasarkan laporan tahunan dinas Peternakan provinsi Riau 2003, jumlah konsumsi daging daerah Riau sebesar 9.11 kg/kapita/tahun. Komoditi terbesar 79.37% berasal dari daging unggas (yang terdiri dari 1,05% daging ayam ras petelur, 55,79% daging ayam broiler, 15,63% daging ayam buras, dan 60,90% berasal dari daging itik). Sedangkan konsumsi terkecil sebesar 9,22% berasal dari daging ternak ruminansia besar terdiri dari (daging sapi 7,46% dan daging kerbau 1,76%) dan 11,41% berasal dari daging ternak ruminansia kecil (daging kambing 2,25% dan daging babi 9,15%).
Tabel 1.Data Statistik Produksi Unggas
Kabupaten
Ayam Petelur layer
Ayam Kampung Domestic Hens
Itik
Duck
Ayam Pedaging
Broiler
1
2
3
4
5
1. Kuantan Singingi
2. Indragiri Hulu
3. Indragiri Hilir
4. Pelalawan
5. Siak
6. Kampar
7. Rokan Hulu
8. Bengkalis
9. Rokan Hilir
10. Kepulauan Riau
11. Karimun
12. Natuna
13. Pekanbaru
14. Batam
15. Dumai
16. Tanjung Pinang
3 500
3 771
-
116 725
6 540
33 088
3 700
4 698
1 290
117 500
78 890
700
141 410
17 500
-
43 800
376 656
308 160
692 066
198 491
310 044
1 015 475
264 085
1 563 797
584 462
437 386
145 134
156 750
517 582
67 315
277 200
97 832
27 768
20 040
42 956
3 953
21 203
22 489
22 271
58 068
27 830
15 138
45 564
7 619
36 674
890
15 354
1 064
61 385
114 504
18 250
1 465 001
113 271
12 747 763
57 046
12 591
10 526
121 250
46 686
22 900
9 360 830
192 000
1326 582
59 800
Jumlah/total 2003
573 112
7 012 435
368 881
25 730 385
Sumber : Riau Dalam Angka 2004
Melihat produksi daging unggas yang terus meningkat dan berkelanjutan bila dibandingkan dengan produksi unggas lain sehingga nantinya di khawatirkan akan terjadi kelebihan produksi yang dapat menurunkan harga jual sehingga untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan pengolahan daging unggas yang bertujuan meningkatkan nilai jual dan mutu daripada daging unggas tersebut.
Daging unggas merupakan sumber protein hewani yang baik, karena mengandung asam amino essensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Selain itu serat daging unggas lebih pendek dan lunak sehingga mudah untuk dicerna. Daging unggas dari segi ekonomi harganya juga relatif terjangkau jika dibanding dengan daging ternak yang lain seperti daging sapi dan daging kambing. Unggas terutama ayam broiler juga sangat berkembang di daerah Riau karena di dukung oleh faktor lingkungan dan letak geografis daerah Riau yang sangat cocok untuk pengembangan unggas karena mempunyai iklim yang panas. Akan tetapi daging unggas juga merupakan bahan pangan yang juga dibutuhkan oleh mikroorganisme sehingga daging ayam broiler akan cepat rusak jika tidak dilakukan perlakuan pengawetan. Maka berdasarkan beberapa kekurangan tersebut dilakukan usaha untuk mempertahankan mutu dan kualitas daging ayam broiler.
Pengolahan daging unggas yang dilaksanakan masyarakat pada saat ini merupakan pengolahan daging unggas yang siap untuk dikonsumsi (ready to eat) sedangkan pengolahan untuk mempertahankan mutu tidak banyak dilakukan masyarakat, hal ini didasarkan pada pengetahuan masyarakat tentang kelebihan daging asap dibanding pengolahan daging dengan cara yang lain.
Daging asap mempunyai tekstur dan aroma yang spesifik sehingga mempunyai daya tarik tersendiri dibanding pengolahan dengan cara yang lain. Flavor yang ada pada daging asap berasal dari bahan baku asap yang digunakan sehingga dari setiap bahan bakar asap mempunyai ciri-ciri yang sangat khas pada daging asap.
Salah satu alasan penulis melaksanakan penelitian ini adalah karena komposisi asap dari setiap jenis bahan pembuat asap mempunyai karakteristik yang berbeda. Selain itu ketersediaan dari ketiga bahan baku pembuat asap dan juga daging ayam broiler tersebut ada di sepanjang tahun.

Tujuan
1. Melakukan proses pengolahan ayam broiler asap dengan sumber bahan bakar yang berbeda.
2. Menganalisis kandungan proksimat daging ayam broiler asap dari perlakuan terbaik.
3. Mengetahui pengaruh pengasapan terhadap sifat organoleptik, yang meliputi (rasa, aroma, warna & tekstur) ayam broiler asap.
4. Mengetahui masa simpan ayam broiler asap

Manfaat
1. Mendapatkan bahan bakar pembuat asap yang terbaik dari pengolahan daging ayam broiler asap.
2. Informasi nilai gizi & masa simpan daging broiler asap.
3. Sebagai Iptek terapan yang dapat di kembangkan pada masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Ayam Broiler
Ayam broiler yang ada sekarang baru dikembangkan lebih kurang 50 tahunan yang lalu. Di abad ke 19, ketika parlemen Inggeris pada tahun 1849 melarang adu jago. Masyarakat penyabung ayam pada waktu itu bertanya pada anggota senat mengenai apa kegiatan yang lebih produktif dibandingkan dengan adu jago yang memenag mereka rasakan sia-sia itu. Parlemen kemudian bertanya kepada para ahlinya dan tentu saja para ahli sudah siap dengan konsep alternatifnya. Ahli unggas menyatakan bahwa jika ayam aduan asal ayam bantam itu dipilih yang besar-besar yaitu 10-ektra large: maka biasanya ayam golongan ini lahap juga makanya oleh seleksi yang ketat, dihasilkan ayam tipe berat Cornish. Bangsa ayam ini kemudian dipilih yang berwarna putih bulunya dan seleksi diteruskan hingga ditemukan ayam broiler seperti yang kita lihat sekarang. Ayam ini tidak lagi memiliki naluri bertarung mati-matian untuk memperebutkan entah apa . Instingnya berubah hanya untuk makan dan tumbuh menimbun daging dan lemak (Amrullah 2004).
Budi daya unggas tercatat mulai sejak tahun 1000 SM di India. Dari 14000 spesies unggas yang ada, semuanya di golongkan ke dalam 25 ordo. Unggas domestik di klasifikasikan ke dalam 4 ordo yaitu (1) corinitae (vertabrata bertulang lunak), (2) Anseriformes (itik dan angsa), (3) galliformes (ayam, kalkun dan burung kuau serta (4) colombiformes (burung tekukur dan merpati). Ordo Galliformes paling besar peranannya dalam dunia ekonomi dan spesiesnya dibagi kedalam tiga famili yaitu (1) phasinidae (ayam dan burung kuau), (2) Numinidae (kalkun, ayam mutiara asal afrika) dan (3) Mellagridae (kalkun asal amerika) (Amrullah,2003).
Jenis ayam yang kita pelihara sekarang ini termasuk kedalam spesies gallus domesticus, sedangkan yang masih liar ada empat spesies yaitu (1) Gallus-gallus, (2) Gallus lafayetti , (3) Gallus Someratti dan (4) Gallus varius. Galur atau strain yanga ada sekarang dapat berasal lebih dari satu bangsa. Umumnya tipe ringan ringan berasal dari bangsa white leghorn, tipe medium dari Rhode Island Red, Australorp dan Barred Plymouth Rock sedangkan tipe berat dari bangsa new hampshire, white plymouth rock dan cornish (Amrullah, 2003).
Menurut Kartasudjana (2002) bahwa broiler adalah ayam-ayam muda jantan yang umumnya bisa dipanen pada umur sekitar 5-6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging. Sehubungan dengan waktu panen yang relatif singkat maka jenis ayam broiler ini mempersyaratkan adanya pertumbuhan yang cepat, dada lebar yang disertai timbunan daging yang baik dan warna bulu yang disenangi biasanya warna putih.

Komposisi Kimia Daging Ayam Broiler
Tabel 2. Komposisi Daging Ayam
Bagian Karkas Ayam
Air
(%)
Protein
(%)
Lemak
(%)
Abu
(%)
Dada
Paha atas
Paha bawah
Punggung
Rusuk
Sayap
Leher
Ampela
Hati
Jantung
77,60
77,40
78,20
78,20
78,10
78,20
78,20
79,80
77,10
78,20
21,30
18,10
18,80
17,50
17,50
19,40
16,80
17,50
18,80
13,80
0,70
3,80
2,70
5,90
3,90
2,70
4,00
2,60
2,70
7,10
0,87
0,82
0,83
0,68
0,68
0,58
0,71
0,74
1,02
0,80
Sumber: Stadelman, 1978.



Tabel 3. Komposisi Daging Ayam per 100 g Daging Ayam
Karakteristik
Jumlah Kandungan
Kalori (Kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Kolesterol (mg)
Vitamin A aktif (mcg)
Vitamin B-1 (g)
Vitamin B-2 (mg)
Kalsium (mg)
Phospor (mg)
Ferrum (mg)
404
18,20
25
60
243
0,80
0,16
14
200
1,50
Sumber: Poultry International, 1990

Sejarah dan Perkembangan Pengasapan
Di Indonesia, proses pengasapan merupakan salah satu cara pengawetan yang sejak lama dilakukan oleh petani ikan atau nelayan. Saat ini hampir 20 % ikan hasil tangkapan diolah dengan cara pengasapan. Pada dasarnya proses pengasapan ikan merupakan gabungan aktifitas penggaraman, pengeringan, dan pengasapan. Adapun tujuan utama proses penggaraman dan pengeringan adalah untuk membunuh bakteri dan membantu melekatnya partikel-partikel asap ketika proses pengasapan berlangsung (Afriyanto dan Liviawati, 1993).
Sugitha (1995) mengatakan pengasapan (smoking) merupakan salah satu metode pengawetan yang lebih banyak dikerjakan dengan asap yang bersumber dari kayu bakar. Antara pemanasan dan pengasapan pada proses ini susah untuk di pisahkan, seolah-olah kedua faktor tersebut bekerja sama dengan baik untuk menghasilkan daging asapan berkualitas tinggi.
Moeljanto (1997) mengatakan bahwa ada dua cara pengasapan yang sudah umum dilakukan yaitu pengasapan panas dan pengasapan dingin. Pengasapn panas yaitu dengan cara memanggang ikan secara perlahan-lahan sehingga bahan tersebut menjadi masak, daya awetnya hanya dapat bertahan 1-3 hari. Sedangkan pengasapan dingin, caranya sama dengan pengasapan panas, bedanya terlihat pada suhu dan lama pengasapan. Pada pengasapan dingin suhunya berkisar antara 30-400C dan lama pengasapan 1-2 minggu, sehingga produk yang dihasilkan menjadi kering dan tahan lama.
Pada umumnya bahan bakar yang digunakan pada pengasapan adalah kayu bakar, serbuk gergaji, sabut kelapa, tempurung kelapa, bongkol jagung dan jenis kayu lainya yang tidak mengandung toksik (DEPTAN 1979).
Menurut Moeljanto (1992) pengasapan akan memberikan beberapa keuntungan yaitu daging menjadi kompak, yang disebabkan oleh adanya penarikan air dan penggumpalan protein daging ikan. Dalam konsentrasi tertentu garam-garam tersebut akan mengahambat pertumbuhan bakteri pembusuk, kecuali itu rasa juga menjadi enak.

Komposisi Kimia Asap
Asap dari hasil destilasi kering tempurung kelapa mengandung senyawa-senyawa antara lain methil alkohol, ethil alkohol, formaldehid, aseton, fenol dan air. (Grimwood, 1975). Sedangkan Sugitha (1995) mengatakan lebih dari 200 komponen asap yang dapat di isolasi dan di identifikasikan. Komposisi asap yang komplet di pengaruhi oleh tersedianya oksigen pada saat pembakaran. Bila tersedianya oksigen terbatas, maka asap yang dihasilkan warnanya gelap dan banyak mengandung asam karboksilat, dan tipe asap ini sebaiknya jangan di manfaatkan. Bila ketersediaan oksigen di tingkatkan, produksi asam dan phenol akan meningkat.
Kayu keras pada umumnya mengandung 40-60% selulosa, 20-30% hemiselulosa, dan 20-30% lignin. Disamping menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperbaiki flavor, asap juga mengoksidasi lemak. Asap kayu mengandung lebih dari 200 senyawa (Judge et al 1961) dan terdiri dari dua fase dispersi (Foster dan Simson, 1961) yaitu fase cairan yang mengandung partikel asap dan fase gas dispersi. Partikel asap tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap proses pembuatan daging asap. Fase gas atau uap dapat dikelompokan menjadi asam fenol, karbonil, alkohol, dan polisiklik hidrokarbon (Hollenbeck dan Marinelli, 1963).
Senyawa kimia utama yang terdapat pada asap, antara lain adalah asam formiat, asetat, butirat, kaplirat, vanilat dan asam siringat, dimetoksiferol, metil glioksal, furfural, metanol, etanol, oktanal, asetal dehid, diasetil aseton, dan 3,4-benzpiren (Lawrie, 1985). Alkohol dan asam-asam tersebut berasal dari dekomposisi selulosa dan hemiselulosa pada temperatur yang lebih rendah daripada lignin. Dekomposisi lignin terjadi pada temperatur diatas 3100 C dan menghasilkan substansi fenolik dan tar (Lawrie, 1979).

Tabel 4. Komposisi Kimia Asap pada Pengasapan Komersil
Senyawa
Satuan (ppm)
Formaldehid
25 – 40
Aldehid
140 -180
Asam format
90 – 125
Fenol
20 -30
Asam asetat
460 – 500
Ketone
190 – 200
Resin
1000

Jenis kayu yang digunakan sebagai bahan bakar harus dipilih. Jadi kita tidak boleh menggunakan sembarang kayu. Penggunaan kayu yang salah akan menyebabkan asap yang dihasilkan juga akan memiliki bau yang kurang sedap, bahkan rasa ikan menjadi agak pahit. Untuk kepentingan pengasapan kayu yang digunakan adalah kayu keras. Disamping bau asap dari kayu keras menimbulkan bau yang khas, asapnya mengandung zat-zat yang bersifat bakteriostatik yaitu zat yang dapat menghentikan kegiatan bakteri. Bakteri merupakan salah satu kuman yang sering hidup pada bahan makanan yang banyak mengandung protein, seperti daging, ikan, dan susu. Asap kayu juga dapat memperkeras ikan yang diasap karena sebagian air dalam ikan menguap. Kayu yang sering dipakai dalam pengasapan adalah kayu bakau, kayu rasamala, serutan, dan serbuk gergaji kayu jati (Dwiari, 2004).
Proses Persiapan Pengasapan
Daging pertama harus direndam dalam air panas selama 30-60 menit, kemudian digantung untuk meniriskan air perendamanya sebelum ditempatkan dalam rumah asap. Daging kering, pertama harus di sikat bersih untuk menghilangkan bahan kuring yang tidak diserap kemudian direndam dalam air hangat selama 60 menit dicuci dengan air suhu 430C, untuk pencucian yang efektif, teknik penyemprotan mungkin bisa dipakai. Jika alat pencuci dengan tekanan tinggi tidak tersedia, daging dibawah tekanan permukaan kulit disikat untuk menghilangkan lendirnya daging tersebut tidak direndam terlalu lama untuk mencegah tekstur lembek dan keasaman pada akhir proses (Sugitha 1995).
Uap air panas bertekanan tinggi ini sekaligus berfungsi memusnahkan mikroorganisme pembusuk ikan. Makanan yang mempunyai pH di atas 4,4 seperti ikan memerlukan suhu tinggi (1100C - 1200C) pada saat pengolahan agar bakteri beserta sporanya yang merugikan dapat dimusnahkan (Winarno dan Laksmi 1982).

Pengasapan
Menurut Winarno dan Fardiaz (1980) pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan untuk memperpanjang daya awet ikan dengan menggunakan bahan bakar kayu sebagai bahan yang menghasilkan asap. Dengan pengasapan akan menghasilkan panas yang menyebabkan berkurangnya kadar air ikan dan mengakibatkan terhambatnya aktifitas mikroorganisme. Buckle et al (1985) mengatakan proses pengasapan dapat dilaksanakan dengan : 1) proses konvensional dengan menggantungkan produk dalam rumah pengasapan selama 4-8 jam pada suhu 350 C – 400C, atau 2) menaruh produk tersebut selama beberapa jam dalam suatu ruangan dimana asap disalurkan dari pembangkit asap yang terdiri dari suatu roda penggiling dan suatu tongkat kayu. Dalam kedua hal tersebut, asap harus dibangkitkan dari kayu keras yang telah di awetkan untuk menghindari getah-getah yang biasanya ada pada kayu-kayu yang lunak seperti kayu cendana. Proses pengasapan mempunyai beberapa akibat antara lain pengaruh yang bersifat mengawetkan yang ditimbulkan oleh penyimapanan/ penimbunan di permukaan daging senyawa kimia seperti formaldehida, asetaldehida, aseton diasetil, metanol, etanol, fenol, asam-asam format dan asetat, furfural dehida, resins, bahan lilin, ter dan tentu saja bahan-bahan yang lain yang semuanya terdapat pada produk yang di asap dengan konsentrasi mulai bagian per sejuta sampai bagian perbilyun. Akibat pengawetan dapat juga di sebabkan oleh pengeringan permukaan yang menguapkan kira-kira 3% dari kehilangan seluruh berat pada produk yang di asap panas. Pengaruh bahan antioksidan juga dihasilkan oleh pemasukan senyawa-senyawa fenol ke dalam produk dan pada permukaan bahan yang di asap, bahan-bahan ini menyebabkan ketahanan simpan yang lebih lama, dan bebas dari proses ketengikan. Akhirnya, sudah tentu pengasapan memberi rasa yang khas pada produk-produk tradisional. Soeparno(1994) mengatakan maksud pengasapan daging terutama adalah untuk meningkatkan flavor dan penampakan permukaan produk yang menarik. Selongsong daging asap juga dapat membantu memperbaiki permukaan daging.
Klasifikasi bakteri halofilik yang paling mudah adalah berdasarkan konsentrasi garam yang dibutuhkan. Bakteri Halofilik lemah tumbuh optimum pada kadar garam 3-5%, halofilik kuat tumbuh optimum pada konsentrasi garam 15-30%. Selain itu terdapat bakteri yang Halotoleran yaitu dapat tumbuh tanpa garam atau dengan adanya garam, kadang-kadang sampai 12%. Spesies yang termasuk Halofilik kuat adalah jenis Halobacterium dan Halococcus yang memproduksi pigmen berwarna merah terang atau merah muda dan tumbuh sangat lambat pada kondisi optimum, dan dapat mengalami lisis jika dimasukkan ke dalam larutan dengan konsentrasi garam rendah (kurang dari 10%) (Fardiaz 1992).
Natrium klorida (NaCl) atau yang lebih dikenal dengan garam dapur merupakan salah satu bahan pengawet atau bahan tambahan yang sering digunakan dalam proses pengolahan ikan. Keutamaan garam sebagai bahan pengawet adalah dapat mengurangi kadar air yang terkandung dalam daging ikan sehingga aktifitas bakteri dalam ikan menjadi terhambat, dapat menjadikan protein daging terdenaturasi, menyebabkan sel-sel mikroba menjadi lisis karena perubahan tekanan osmosis, sedangkan ion klorida pada garam dapur memiliki daya toksisitas yang tinggi pada mikroba serta memblokir sistem respirasinya (Irawan 1995).
Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, oleh karena itu air yang terdapat dalam bahan pangan harus dikeluarkan dengan cara pengeringan atau penguapan (Winarno dan Laksmi 1947).
Wibowo (1996) mengatakan bahwa penambahan bumbu rempah-rempah kedalam bahan pangan dapat memperpanjang daya awet bahan pangan tersebut. Hal ini di karenakan rempah-rempah juga mengandung zat tertentu yang dapat memperlambat pertumbuhan mikroba tertentu disamping fungsi utamanya yaitu sebagai penambah cita rasa pada makanan.

Pengemasan
Untuk menjaga agar tidak terjadi kemunduran mutu produk, maka Afrianto dan Liviawati (1989) menyarankan agar penyimpanan produk hasil pemindangan harus mendapat perhatian pula, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan selama ikan pindang dalam penyimpanan, wadah ikan hasil pemindangan harus tertutup sebaik mungkin agar tidak terkena debu. Untuk mendapatkan daya awet yang tinggi, sebaiknya ikan pindang diletakkan dalam ruangan yang kering dan bertemperatur rendah. Soeparno (1994) mengatakan pengepakan termasuk salah satu cara preservasi daging dan daging proses yang hampir tidak dapat diabaikan. Fungsi utama pengepak adalah untuk melindungi daging terhadap kerusakan yang terlalu cepat, baik karena perubahan kimiawi, maupun kontaminasi mikrobial, serta untuk menampilkan produk dengan cara yang menarik. Pengepak tidak memperbaiki kualitas, tetapi hanya mempertahankan atau memperlambat kerusakan produk selama penyimpanan. Pengepak harus tidak mempengaruhi kualitas produk. Tipe produk, metode prosesing, dan metode pemasaran mempunyai pengaruh terhadap tipe pengepakan yang diperlukan.
Moelyanto (1992) menyatakan bahwa pengemasan akan membantu produk antara lain mencegah produk dari kontaminasi, memperkecil oksidasi lemak, serta menghilangkan jamur sehingga mengurangi atau memperlambat kerusakan.
Menurut Desrosier (1988) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan adalah jenis dan keadaan bahan pengemas. Beberapa syarat yang harus dipenuhi bahan sebagai pengemas yaitu : a) tidak menyebabkan perubahan warna produk, b) tidak mudah teroksidasi atau bocor, c) tahan terhadap panas dan dingin, d) murah dan mudah dalam penggunaan.
Buckle et al (1985) menyatakan bahwa plastik pollipropilen lebih kaku, kuat dan ringan dari pada polietilen dengan daya tembus uap air yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap. Sifat-sifat utama dari plastik tipis fleksible yang digunakan untuk pengemasan bahan pangan seperti polypropylene yaitu lebih kaku, inert, kuat dan lebih ringan dari pada polyethylene dengan daya tembus uap air yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilat.
Aluminium foil juga digunakan secara luas dalam pelapisan dimana sifat-sifatnya yang rendah terhadap daya tembus gas dan uap air, odor atau sinar dan mikroba (Buckle et al, 1985). Soeparno (1994) mengatakan material pengepak daging atau produk daging proses yang juga bisa dipergunakan, antara lain adalah kopolimer etilena, foil alumunium, dan kombinasi material pengepak. Pengepak kombinasi mempunyai daya proteksi terhadap daging proses yang lebih tinggi daripada material individual. Pengepak logam dan gelas bisa dipergunakan dalam prosesing serta mampu menjaga stabilitas daging segar, daging beku dan daging proses. Kombinasi pembungkusan dengan plastik dan kemudian pengepakan daging beku dapat memperpanjang masa simpan dan memberikan keuntungan untuk prosesing selanjutnya.
Penurunan Mutu Daging Asap
Bakteri, ragi dan kapang dapat tumbuh dalam keadaan hangat pada umumnya tergolong mesofil yaitu tumbuh baik pada suhu 25-300C mesofil ini tumbuh baik pada makanan yang di simpan pada suhu kamar bahkan masih dapat tumbuh pada suhu dingin (Fardiaz, 1989). Adapun bakteri yang tumbuh pada suhu rendah disebut psycrophilik, kebanyakan golongan pseudomonas atau generasi Acromobacter, Flavobacterium, Alkaligenes dan Micrococcus. Diantara jamur yang tumbuh dalam temperatur rendah adalah Penicilium, Mucor, Cladosporum, Broitis dan Bactrocilium. Diantara golongan ragi adalah Debarvimices, Tarulobsis, Candida, Rhodutolla yang keseluruhanya di golongkan mikroorganisme yang hidup dalam temperatur psycophilik (Rab, 1986).
Kadar air bahan pangan sangat mempengaruhi laju reaksi enzimatik. Pada kadar air bebas yang rendah terjadi halangan dan rintangan sehingga baik difusi enzim atau substrat terhambat (Winarno, 1986). Menurut Witigna dalam Muljanah et al (1966) bahwa kadar air merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap daya tahan suatu bahan olahan. Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikroorganisme sedangkan bahan pangan tersebut dapat tahan lama. Sebaliknya makin tinggi kadar air makin cepat mikroorganisme berkembang biak, sehingga proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat.

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2006 di Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan dan Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.

Materi
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan Daging ayam broiler asap adalah daging ayam broiler segar. Bahan-bahan lainnya adalah bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan Daging Ayam Broiler asap, meliputi, tempurung kelapa, sabut kelapa, kayu daru-daru, garam, gula, merica, bawang putih, MSG, minyak nabati dan air.
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan Daging ayam broiler asap blender, alat penggiling, pisau, baskom, talenan, kompor, timbangan dan pH meter. Peralatan yang digunakan untuk uji organoleptik adalah piring, sendok, pisau dan garpu.

Prosedur Pembuatan Daging Ayam Broiler Asap
Pembuatan Daging ayam broiler asap yang di asap dengan bahan bakar asap yang berbeda-beda.
1. Larutan bumbu garam, gula berwarna kecoklatan, sodium nitrit air diaduk dan dimasak pada suhu 34-360F.
2. Perendaman dalam larutan berbumbu (curing) selama 48 jam.
3. Perendaman dalam air dingin selama 1 jam untuk menghilangkan garam yang berlebihan.
4. Pengasapan awal pada suhu 1800F selama 1 jam, kemudian pada suhu 1300F selama 5 – 12 jam (sesuai kebutuhan warna dan aroma).
5. Karkas yang sudah di asap dimasak dalam tekanan tinggi selama 10 menit atau di uapkan selama 25 menit atau sampai temperatur internal daging ayam mencapai 1650F. dilakukan pendinginan.
6. Pengemasan produk unggas asap.

Formulasi bahan dan bumbu Daging ayam broiler asap yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 5. Formulasi Bahan dan bumbu Daging Ayam Broiler Asap.
Jenis Bahan
Formulasi bahan
Gram (gr)
Persen (%)
Daging ayam broiler
Garam
Gula
Sodium Nitrit
Air



Metode
Rancangan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan melakukan percobaan pengolahan Daging ayam broiler asap dari bahan baku daging ayam broiler segar yang di asap dengan bahan bakar asap yang berbeda-beda.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan yaitu: (P1) sabut kelapa, (P2) tempurung kelapa dan (P3) kayu daru-daru.
Parameter yang diamati adalah kadar air, warna daging, juicy, flavour dan penerimaan konsumen terhadap nilai organoleptik meliputi uji kesuakaan. Satuan percobaan pada penelitian ini adalah daging ayam broiler asap yang di asap dengan bahan bakar asap yang berbeda-beda sebanyak 9 unit percobaan.

Rumus umum untuk rancangan yang diajukan adalah sebagai berikut:
Yi = µ + α i + Σ i
Keterangan : Yi : nilai pengamatan
µ : rata-rata umum (sebenarnya)
α i : pengaruh perbedaan formulasi pada taraf ke-i
Σ i : galat pengaruh terhadap perbedaan perlakuan formulasi pada . taraf ke-i
Panelis yang digunakan tergolong pada panelis semi terlatih untuk memberi penilaian mengenai tingkat kesukaan dan ketidaksukaan terhadap produk yang dihasilkan.

Asumsi
Dalam penelitian ini diajukan asumsi sebagai berikut:
1. Tingkat kesegaran daging ayam broiler sebelum perlakuan dianggap sama
2. Tingkat keterampilan panelis selama penelitian dianggap sama
3. Tingkat keterampilan panelis dalam melakukan penilaian dianggap sama.
Metode Pengamatan
Metode pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji Analisa proximat.
Kadar Air (Sudarmadji et al, 1997)
- Cawan porselin dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 – 110 0C.
- Dinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A)
- Sampel x diambil sebanyak 3 g dimasukkan kedalam cawan porselin, ditimbang (B) dan dipanaskan kedalam oven pada suhu 105 – 1100C selama 8 jam.
- Cawan didinginkan dalam desikator, penimbangan cawan ini dilakukan beberapa kali sampai didapatkan berat yang konstan.
- Kadar air dapat dihitung dalam persen (%) dengan perhitungan:
Kadar air = ( B – C ) x 100 %
( B – A )


Kadar Protein dengan Metode Kjedahl (Sudarmadji et al, 1997)
- Sampel sebanyak 2 g yang telah dihaluskan ditimbang dan dimasukkan kedalam labu Kjeldahl dan tambahkan 25 ml asam sulfat pekat serta 1 gram katalis (Cu komplek).
- Campuran ini didestrusikan dalam lemari asam berwarna hijau berwarna bening, kemudian didinginkan selama 30 menit.
- Pengenceran dengan akuades 100 ml dalam labu ukur kemudian diambil 25 ml larutan tersebut dan masukkan kedalam Kjeldhal dan ditambahkan dengan 5 –7 tetes indikator pp dan NaOH 50 % sampai alkalis sehingga terbentuk larutan berwarna merah.
- Erlenmeyer diisi dengan larutan borak 2 % sebanyak 2 ml dan ditambahkan indikator campuran (metilen merah – biru ) sehingga alrutan berwarna ungu ditampung dan diikat dengan asam borax smpai terbentuk larutan hijau. Desilasi berlangsung lebih kurang 15 menit
- Hasil desialasi pada erlenmeyer dititrasi dengan larutan asam standar (HCL 0,1 N) yang lebih diketahui konsentrasinya samapi larutan berwarna biru. Dengan cara yang sama dilakukan untuk balnko tanpa sample. Perhitungan dapat diketahui :
% N = ml HCL (sampel – blanko) x N HCL x 14,007 x 100 %
Berat sampel (gram)

Kadar Lemak ( Loekman, 1994)
- labu penyaring yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi sokhlet yang akan digunakan, dikeringakan dalam oven selama satu jam pada suhu 105 0C kemudian ditimbang beratnya (A gram).
- Timbang 2 gram sampel, setelah dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang telah disiapkan,kemudian pasang alat kondensor di atasnya sedangkan lemak di bawahnya.
- Tuangkan pelarut Cloroform kedalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan.
- Lakukan refluks selama 5 jam.
- Destilasi yang ada di dalam labu lemak, tampung pelarutnya, panaskan labu lemak kemudian hasil diekstraksi, dipanaskan di dalam oven dengan suhu 105 0C selama 45 menit.
- Keringkan sampai beratnya tetap dan dinginkan dalam desikator, timbang labu serta lemak (B gram). Perhitungannya :
Kadar lemak (%) = (A – B) x 100 %
Berat sample

Kadar Abu (Sudarmadji, 1989)
- Cawan porselin di pijar ke dalam tanur pengabuan pada suhu 65 0C selama satu jam, lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A gram).
- 2 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dipijarkan selama 1 jam pada suhu 650 0C, kemudian cawan tersebut didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (B gram).
Perhitungan:
Kadar abu (%) = (A – B) x 100%
Berat sampel

Penilaian Organoleptik
Penilaian Organoleptik untuk uji mutu dengan menggunakan 25 orang panelis yang diseleksi dari mahasiswa peternakan khususnya program studi THT. Pengamatan organoleptik yang dilakukan meliputi penilaian uji kesukaan dilakukan dengan menggunakan score sheet dengan angka (nilai 1 sampai nilai 5).


Analisa Data
Data yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan uji normalitas, apabila sebaran data normal maka analisa dilanjutkan dengan analisis variansi (ANOVA). Apabila sebaran data tidak normal maka perlu ditransformasikan terlebih dahulu.
Setelah uji ANOVA, maka diperoleh F hitung, apabila F hitung > F tabel pada tingkat kepercayaan 95%, maka HO ditolak, apabila F hitung < F tabel, pada tingkat kepercayaan 95% maka HO diterima. Apabila HO ditolak maka dilakukan uji lanjut yaitu Beda Nyata Terkecil ( BNT ).
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Hafil. 1999. Pengelolaan Ternak Unggas. Universitas Andalas. Padang.
Afriyanto E Dan Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta
Anonim. 2003. Pemotongan, penanganan dan Pengolahan Daging Ayam. Kanisius Yogyakarta.
Betty S. L Jenie dan Fardiaz S. 1989. Uji Sanitasi Dalam Industri Pangan. ITB
Bogor.
Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo H, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science.
Ibnu Katsir Amrullah,Dr. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor.
Saraswati. 1989. Mengawetkan Daging. Bhratara. Jakarta.

Sri Rini Dwiari dan Hawignyo. 2004. Cara Membuat Ikan Asap. Balai Pustaka. Jakarta.
Sugitha I Made. 1995. Teknologi Hasil Ternak. Universitas Andalas. Padang.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Press.
Winarno FG, Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor: M-BRIO Press.
Winarno FG. 1994 Sterilisasi Komersial Produk Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tidak ada komentar: